Migrasi Kenangan



Judul : Migrasi Kenangan 
Penulis : Robi Akbar 
Penerbit : Basabasi 
Tebal : 120 halaman 
ISBN : 978-602-5783-94-4 
Reviewer : @radjasng_ 

pohon-pohon tumbang/ 
satwa menghilang/ 
hutan-hutan arang/ 
sungai kerontang// 

ayah mati di ladang/ 
burung-burung entah ke mana terbang/ 
ibu mati di ladang/ 
ikan-ikan ke mana berenang// 

ayah mati di ladang/
jadi artefak tertimbun lubang/ 
ibu mati di ladang/ 
tinggal kenang dan bayang-bayang. 

Puisi tak serta-merta hadir sebagai salah satu jenis sastra yang memiliki nilai romantis. Di tangan beberapa penyair—seperti Widji Thukul—puisi berubah menjadi momok yang menakutkan. Seperti dikatakan Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong: apa arti kesenian jika terlepas dari derita lingkungan, apa arti berpikir jika lepas masalah kehidupan. Sehingga dalam beberapa peristiwa tak jarang sang penyair harus dilelapkan secara paksa dari.

Dalih tersebut adalah cara terbaik untuk membuat puisi tak lagi berkobar dan cikal bakal menjadi bentuk perlawanan. Tetapi hal itu sebenarnya klise, sebab ketika puisi telah dikumandangkan maka puisi akan merongrong dalam kepala sang pembaca. Puisi juga hadir sebagai medium pencerahan dan menjadi wilayah untuk bermawas diri. Ketika baris demi baris ditelusuri, mengartikan segala frasa-frasa, tanpa sadar pembaca telah memasuki proses bermawas dengan (tentunya) menggunakan pemahamannya sendiri dalam mengartikan yang tersirat maupun tersurat di puisi tersebut.

Situasi ini tak jarang membuat seorang pembaca merasa gundah dalam proses pengartian dan bermawas diri dari sebuah puisi. Hingga dalam pelbagai fenomena seorang pembaca mengulang lagi dan lagi tiap baris-baris puisi tersebut demi mendapatkan pemahaman yang utuh. Dan di beberapa peristiwa puisi tak jarang dihadiahkan untuk mereka-mereka yang dianggap penulis sebagai orang-orang yang patut harus diingat dalam sejarah. Mengajak para pembaca untuk mengenal sosok yang dulunya tabu.

Proses tersebut atau bisa saya katakan sebagai sihir terjadi dengan rentetan hal yang sebenarnya tak pernah dialami sosok yang dibahasnya. Penulis hanya membuat apa yang ia tangkap lalu ia mengimplementasikannya. Pada akhirnya penulis sukses membuat pembaca untuk lebih mendalami sosok tersebut terlepas dan seusai dari puisi yang dibaca. Berangkat dari Migrasi Kenangan gubahan Robi Akbar (Basabasi, April 2019). Robi Akbar—selanjutnya Robi saja—sukses menghadirkan kehadiran puisi di atas dan membuat pembaca benar-benar bermigrasi dari peristiwa satu ke lainnya. Menghadirkan 82 puisi dan menempatkannya tak sesuai menurut kehadirannya merupakan salah satu alasan mengapa buku ini mengusung judul imigrasi. Tak seperti kebanyakan buku kumpulan puisi, yang isinya telah dipetakan dengan kehadiran yang sama.

Dimulai dengan “Bayangan” (halaman 9), sebagai permulaan atau pemanasan untuk memulai bermigrasi yang terjadi dalam tangkapan Robi. Dengan puisi tersebut; 

siapakah yang berjalan sendirian/ 
bayang-bayang/ 
menyusur ribuan kenang / 
aku mengingatmu/ 
ketika angin sasap/ 
senyap/ 
lindap dan tuhan hilang di ujung ratap. 

Mulanya, pembaca dibawa Robi untuk bermigrasi ke peristiwa yang paling fundamental mengenai kenangan. Seketika pembaca membangun stigma bahwa ‘kenangan’ yang ada di buku itu ialah perisitiwa ‘kita’ milik Robi sendiri. Kemudian disusul; 

.../ membaca luka dan berjuta metafora di dada yang sesak. 

Hingga semakin nyata stigma itu benar. Tetapi ketika pembaca mulai bertamasya ke puisi selanjutnya lekas stigma itu runtuh. Dengan “Lelaki yang Pergi Sebelum Natal dan Tahun; Benediktus Joned Setiawan” (halaman 30), Robi mulai menunjukkan kehadiran puisi dan imigrasi yang sebenarnya baru dimulai; 

.../ 
aku pergi/ 
dunia ini terlalu sakit untuk ditinggali/
katanya lagi/ 
padahal baru saja ia datang/ 
ia susuri jalan luar cahaya dan prediksi tahun-tahun yang mungkin kelak gemilang. 

Kutipan di atas, Robi mengajak dan mengimplementasikan kehadiran puisi pada poin ketiga: dihadirkan untuk orang-orang menurut penulis berharga dan perlu diingat dalam sejarah. Menyandang nama Benediktus Joned Setiawan, seorang aktor yang berdomisili Bandar Lampung. Robi jelas menggambarkan suatu kematian. Kemudian pada baris 'padahal ia baru saja datang', Robi menunjukkan mengenai perihal waktu, yang mana maksudnya dalam jenjang kehidupan Benediktus yang pergi dari dunia pada umur 37 tahun. Lalu di akhir puisi: ‘ia susuri jalan luar cahaya dan prediksi tahun-tahun yang mungkin kelak gemilang', maksudnya ialah bagaimana Benediktus dalam karier aktornya yang akan mendatang, bisa saja menjadi gemilang, jika ia tidak benar 'pergi'. 

Dan pada judul yang digagas Robi, menyematkan diksi 'Pergi Sebelum Natal dan Tahun Baru' yang berarti kepergian menegaskan bulan kepergian Benediktus. Yang mana terjadi pada bulan September, hari Sabtu tanggal 30, tahun 2017. 

pohon-pohon tumbang/ 
satwa menghilang/ 
hutan-hutan arang/ 
sungai kerontang// 

ayah mati di ladang/ 
burung-burung entah ke mana terbang/ 
ibu mati di ladang/ 
ikan-ikan ke mana berenang// 

ayah mati di ladang/ 
jadi artefak tertimbun lubang/ 
ibu mati di ladang/ 
tinggal kenang dan bayang-bayang. 

 “Mati di Ladang” (halaman 90) adalah tajuk pada puisi di atas. Di sini, Robi mengajak kita berimigrasi pada poin pertama: bentuk perlawanan dan kekritisan kepada masalah lingkungan dan kehidupan. Bagaimana Robi menggambarkan hutan, menjadi pemalakan segelintir orang. Hutan yang asri disulap menjadi agaknya sebuah pabrik. Dalam bait kedua begitu terasa ketika Robi menempatkan kata 'ayah dan ibu' akibat dampak pemalakan tersebut. Secara tak langsung, bukan hanya satwa yang tersingkir tetapi kemiskinan mulai bersinar. Lalu pada bait ketiga, yang terjadi hanya tinggal legenda mengenai dulunya kebutuhan bergantung pada hutan. 

Dan kehadiran puisi terakhir: sebagai bentuk bermawas diri. Tak bisa dijelaskan melalui seluruh puisi-puisi yang Robi muatkan. Sebab sebagaimana yang tertera di atas, bermawas diri terjadi setelah membaca segala frasa-frasa, baris demi baris ditelusuri. Jadi untuk mengutuhkan bermawas diri tersebut sebaiknya para pembaca yang belum memiliki buku ini mulai membeli dan melihat alegori yang disajikan Robi begitu pelik, meliuk-liuk, dan amat puruk membahas pelbagai peristiwa yang dilihat dan dirasakan. 

Selamat membeli dan membaca!

No comments:

Powered by Blogger.