Rabu Review: Jejak Mata Pyongyang

Judul Buku: Jejak Mata Pyongyang 
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Muffin Grpahics (PT. Mizan Pustaka) Cetakan I, April 2015 156 hlm 
ISBN : 978-979-177708-9-7
Pengulas buku: Pera Sagala 


* Bagi penikmat Sastra, nama besar Seno Gumira Ajidarma (SGA) pasti sudah sangat dikenal. Ketika aku menemukan buku ini disebuah bazar buku, nama itu lah yg membuatku melirik buku ini. Apakah ini novelnya? Ternyata tidak. Buku ini justru seperti album gambar. SGA lebih memilih Kekuatan visual daripada kekuatan kata-kata untuk menjelaskan kehidupan Pyongyang. Buku ini adalah rekaman perjalanan SGA saat berkesempatan berkunjung ke Korea Utara sebagai juri pengganti Festival Film Internasional Pyongyang ke-8 tahun 2002. Buah perjalanan selama 17 Hari.

Apa yg menarik dengan Pyongyang? Ibukota negara Korea Utara, sebuah negeri komunis Ortodok yg masih tersisa di muka bumi. Negara ini sangat tertutup, bahkan hingga saat ini. Dokumentasi ttg negara ini sangat sulit didapat, itulah yg menjadikan buku ini justru menarik, apalagi dituliskan oleh seorang Sastrawan. Tp jangan harap tulisan sastrawan muncul di buku ini. SGA menulis seperti reportase blog dan sangat visual. Sangat membantu melihat kehidupan Korea Utara yg 'menakjubkan'.

Selama perjalanannya di negara tertutup tersebut, SGA selalu membawa kamera. Segala sesuatu sangat diawasi oleh lembaga negara ini. Kecemasan diawasi intel langsung menyambut sejak menginjakkan kaki di negara tersebut. Namun penerjemah tak pernah lelah meyakinkan bawa RRD Korea adalah negara terbaik didunia.

Pyongyang adalah representasi "keteraturan", "ketertiban" dan "keseragaman". Penduduk disana selalu memakai atasan warna putih. Tidak ada fashion atau terbatas sekali. Celana Rok dan potongan rambut nyaris seragam. Masyarakatnya sangat takut di Foto. Arsitekturnya di tata untuk propaganda. Tidak ada pasar, toko dan cafe. Hanya ada patung para pemimpin dan teks patriotik. Gambaran2 visual ini meski menarik namun memberikan gambaran yg jelas betapa menjemukannya keseragaman, dan kekuasaan otoriter.

Dari sudut pandangku, aku jadi bersyukur dengan banyaknya kebebasan di Indonesia. Mungkin kita melihatnya betapa banyak hak2 warganegara Korea yg dicabut oleh pemerintahannya. Dengan melihat gambaran rakyat Korea utara yg tetap patuh dan (mungkin) betah dengan kehidupan di negaranya dalam buku ini, membuatku merinding. Semoga Indonesia tidak akan seperti negara Korea Utara. 

#rabureview
#medanmembaca

No comments:

Powered by Blogger.